Jumat, 13 Maret 2015

Rasa Hayat Budaya

 :: Sunu Catur Budiyono (2/15)

Dalam kehidupan kesehariannya, manusia tidak bisa dilepaskan dari rasa di dalam dirinya, seperti rasa enak, rasa tidak nyaman, rasa sungkan, rasa hormat, atau rasa aeng. Berbagai kompleksistas rasa yang dimiliki oleh setiap warga budaya tersebut masing-masing terinternalisasi dan tereksternalisasi dengan cara yang berbeda pula. Demikian juga, terkait dengan pemahaman dan penghayatan terhadap fenomena budaya yang mereka hayati.
 
Rasa hayat (dalam konteks budaya Jawa) dapat dilihat berdasarkan gugus budaya yang tumbuh, berkembang, dan disokong pendudukungnya. Masing-masing gugus budaya tersebut memiliki rasa hayat budaya yang berbeda sesuai dengan nilai, pandangan dunia, dan religiusitas pendukungnya. Gugus budaya Jawa secara kasar dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (a) daerah kebudayaan negarigung (keraton dan sekitarnya), (b) daerah kebudayaan mancanegari, dan (c) daerah kebudayaan brang wetan (pesisir timur).

Masing-masing gugus kebudayaan mempunyai rasa hayat sendiri. Sebagaimana di kemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa apa yang sakral bagi wong cilik mungkin tidak sakral bagi raja. Bulan Sura, tari bedaya, dan Nyi Roro Kidul dikeramatkan oleh wong cilik tapi tidak bagi raja. Bagi raja, upacara kawin pada bulan Sura bukan pantangan, tari bedaya adalah tarian asmara, dan Nyi Roro Kidul adalah "isteri" raja-raja Jawa. Bagi wong cilik, lelembut (jin) diberi makan bunga-bungaan dan kemenyan, bagi santri Jin dapat disuruh-suruh sebagai khadam (abdi). Maka, rasa hayat tersebut juga berbeda-beda gejalanya. Lelembut adalah kawan bagi raja, pesuruh santri, dan dimuliakan oleh wong cilik. Dengan kata lain, lelembut terjangkau oleh raja dan santri, tetapi menakutkan bagi wong cilik. Bagi wong cilik lelembut termasuk daftar rasa hayat tragis, sementara bagi raja dan santri tidak. Bagi wong cilik kelaparan, kemiskinan, kriminalitas, dan gagal panen adalah tragedi. Kelaparan, kemiskinan, dan gagal panen tidak mungkin mengenai raja. 


Demikian pula, masing-masing gugus budaya tersebut memiliki karakteristik rasa estetika keseniannya sendiri. Mereka juga memiliki perbedaan dalam menyikapi kesenian. Perbedaan bentuk seni dan sikap tersebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang budaya dan nilai yang mereka pahami dan percayai. Selanjutnya masing-masing kelompok tersebut akan melahirkan wacana estetika yang berbeda. 

Oleh karena itu, dapat dipahami jika terdapat klasifikasi kesenian juga rasa estetik dalam setiap gugus budaya. Dalam konteks gugus budaya Jawa, secara kasar dibedakan kesenian ke dalam dua kelompok yakni seni kasar yang berkembang dalam masyarakat kebanyakan (wong cilik) dan seni alus yang berkembang dalam kelompok priyayi. Dalam terminologi yang berbeda, Brandon membedakan tradisi kesenian (teater) dalam dua kelompok yakni great tradition (tradisi besar) dan little tradition (tradisi kecil). Tradisi besar merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di lingkungan istana sedangkan tradisi kecil merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat. 
Masing-masing kelompok sosial-budaya memiliki rasa hayat yang beragam. Oleh karena itu, rasa hayat budaya melahirkan ekspresi budaya yang beragam sesuai dengan nilai, pandangan dunia, ritus-religius, dan konteks sosial budayanya. Dalam skala mikro, rasa hayat tersebut juga terepresentasikan dalam perubahan nama dari KOEROESETRA menjadi PERSADA SASTRA. Jika sebelumnya (rasa hayat KOEROESETRA) merupakan ekspresi sastra dan berita, maka (rasa hayat PERSADA SASTRA) merupakan ekspresi sastra dan kebudayaan. Hal ini berimplikasi terhadap perubahan mindset berpikir para pendukungnya. 

Kerja kebudayaan tentu jauh lebih luas dan lebih berat serta untuk semua kalangan. Dengan demikian, perubahan identitas tersebut bukan hanya persoalan perubahan rasa hayat estetik tetapi yang lebih penting dan berat adalah integritas, komitmen, dan tanggung jawab yang harus diemban. Tentu semua berharap, bahwa PERSADA SASTRA bisa mekar dan menyemai benih-benih kebudayaan yang tercecer menjadi permata zamrud katulistiwa, sehingga tidak ada lagi istilah “dipinggirkan” atau “diliyankan”. Semua sama dalam persada multikultural.

Tidak ada komentar: