:: Sunu Catur Budiyono (2/15)
Dalam kehidupan kesehariannya, manusia tidak bisa dilepaskan dari rasa di
dalam dirinya, seperti rasa enak, rasa tidak nyaman, rasa sungkan, rasa hormat,
atau rasa aeng. Berbagai kompleksistas rasa yang dimiliki oleh setiap warga
budaya tersebut masing-masing terinternalisasi dan tereksternalisasi dengan
cara yang berbeda pula. Demikian juga, terkait dengan pemahaman dan penghayatan
terhadap fenomena budaya yang mereka hayati.
Rasa hayat (dalam konteks budaya Jawa) dapat dilihat berdasarkan gugus
budaya yang tumbuh, berkembang, dan disokong pendudukungnya. Masing-masing
gugus budaya tersebut memiliki rasa hayat budaya yang berbeda sesuai dengan
nilai, pandangan dunia, dan religiusitas pendukungnya. Gugus budaya Jawa secara
kasar dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok besar, yakni (a) daerah kebudayaan negarigung (keraton dan sekitarnya), (b) daerah kebudayaan mancanegari, dan (c)
daerah kebudayaan brang
wetan (pesisir timur).
Masing-masing gugus kebudayaan mempunyai rasa hayat sendiri. Sebagaimana
di kemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa apa yang sakral bagi wong cilik mungkin tidak
sakral bagi raja. Bulan Sura, tari bedaya, dan Nyi Roro Kidul dikeramatkan oleh
wong cilik tapi tidak bagi raja. Bagi raja, upacara kawin pada bulan Sura bukan pantangan, tari bedaya adalah tarian asmara,
dan Nyi Roro Kidul adalah "isteri" raja-raja Jawa. Bagi
wong cilik, lelembut (jin) diberi makan bunga-bungaan dan kemenyan,
bagi santri Jin dapat disuruh-suruh sebagai khadam (abdi).
Maka, rasa hayat tersebut juga berbeda-beda gejalanya. Lelembut adalah kawan
bagi raja, pesuruh santri, dan dimuliakan oleh wong cilik. Dengan kata lain,
lelembut terjangkau oleh raja dan santri, tetapi menakutkan bagi wong cilik.
Bagi wong cilik lelembut termasuk daftar rasa hayat tragis, sementara bagi raja dan santri tidak. Bagi wong cilik
kelaparan, kemiskinan, kriminalitas, dan gagal panen adalah tragedi. Kelaparan, kemiskinan, dan gagal panen tidak mungkin mengenai
raja.
Demikian pula, masing-masing
gugus budaya tersebut memiliki karakteristik rasa estetika keseniannya
sendiri. Mereka juga memiliki perbedaan dalam menyikapi kesenian.
Perbedaan bentuk seni dan sikap tersebut disebabkan adanya perbedaan latar belakang
budaya dan nilai yang mereka pahami dan percayai. Selanjutnya masing-masing
kelompok tersebut akan melahirkan wacana estetika yang
berbeda.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika terdapat klasifikasi kesenian juga
rasa estetik dalam setiap gugus budaya. Dalam konteks gugus budaya Jawa, secara
kasar dibedakan kesenian ke dalam dua kelompok yakni seni kasar yang berkembang dalam masyarakat kebanyakan (wong cilik) dan seni
alus yang berkembang dalam kelompok priyayi. Dalam terminologi yang berbeda, Brandon
membedakan tradisi kesenian (teater) dalam dua kelompok yakni great
tradition (tradisi besar) dan little tradition (tradisi kecil). Tradisi
besar merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di
lingkungan istana sedangkan tradisi kecil merupakan seni
yang tumbuh dan berkembang di kalangan
rakyat.
Masing-masing kelompok sosial-budaya memiliki rasa
hayat yang beragam. Oleh karena itu, rasa hayat budaya melahirkan ekspresi
budaya yang beragam sesuai dengan nilai, pandangan dunia, ritus-religius, dan konteks sosial budayanya. Dalam skala
mikro, rasa hayat tersebut juga terepresentasikan dalam perubahan nama dari
KOEROESETRA menjadi PERSADA SASTRA. Jika sebelumnya (rasa hayat KOEROESETRA)
merupakan ekspresi sastra dan berita, maka (rasa hayat PERSADA SASTRA)
merupakan ekspresi sastra dan kebudayaan. Hal ini berimplikasi terhadap
perubahan mindset berpikir para pendukungnya.
Kerja kebudayaan
tentu jauh lebih luas dan lebih berat serta untuk semua kalangan. Dengan
demikian, perubahan identitas tersebut bukan hanya persoalan perubahan rasa
hayat estetik tetapi yang lebih penting dan berat adalah integritas, komitmen,
dan tanggung jawab yang harus diemban. Tentu semua berharap, bahwa PERSADA
SASTRA bisa mekar dan menyemai benih-benih kebudayaan yang tercecer menjadi
permata zamrud katulistiwa, sehingga tidak ada lagi istilah “dipinggirkan” atau
“diliyankan”. Semua sama dalam persada multikultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar