Jumat, 13 Maret 2015

BERTEMU SANG BEGAWAN



Penulis: Pak Shodiq (dicq.eka@gmail.com, Fb: Pak Shodiq)


Sore itu, saya dan kawan saya hendak bertamu ke rumah begawan Sastra jawa. Suparto Brata, apakah Anda tahu nama itu? Sebagai orang jawa, bilamana tak tahu maka bolehlah saya menyebutnya Wong Jawa Ilang Jawane. Betapa tidak, tokoh kita ini merupakan sastrawan yang konsisten memperjuangkan hidupnya dalam kesusastraan jawa (berbahasa jawa). Semasa mudanya dulu, aktif mengisi majalah-majalah berbahasa jawa; sebut saja misalnya Penyebar semangat, jaya baya, Joko Lodhang). Tak hanya melalui majalah, novel dan cerpennya juga lebih banyak menggunakan bahasa jawa. Yang mendapatkan penghargaan dari pemerhati sastra daerah yakni Rancage di bawah asuhan Ajib Rosidi yakni kumpulan cerpennya TREM (Pustaka Pelajar, 2000). Banyak juga karyanya yang langsung diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Prancis.

Kami mendapatkan alamat beliau dari pembina redaksi Persada Sastra, Pak Shoim Anwar. Ketika kawan saya mengutarakan akan menemui sang begawan, Pak Shoim langsung memberikan respon positif. Lalu berbekal alamat yang diberikan pak Shoim, kami berangkat. Sebenarnya ketika alamat yang dicari masih dalam satu kota, tentu saja tak jadi soal. (Perum YKP RL-1-C 17 Surabaya), sepertinya akan mudah menemukan alamat ini. Maka bertamu selepas maghrib kami anggap ideal, berangkatlah saya dan Mas Pana (Pemimpin Redaksi). Sebelumnya (Pagi-sore), kami berputar-putar kota pahlawan untuk promosi majalah.

Ternyata ingatan-ingatan kami tak sepenuhnya membantu. Benar memang kami sudah di daerah rungkut, tapi sulit sekali menemukan alamat. Ini juga ditunjang dengan tak bertanyanya kami pada orang. Istilahnya, berdikari, menemukan sendiri tanpa bantuan orang lain. Berhasilkah? Tentu tak berhasil. Sempat hampir frustasi tatkala berputar-putar di seputar Universitas Pembangunan nasional, UPN, bertemulah kami dengan alamat yang mirip. Berdasar penjelasan satpam, ternyata alamat yang kami tuju masih jauh dari alamat yang hampir mirip tersebut. Menjelang isya, bergeraklah kami menembus gelapnya jalan di jalan pandugo. Akhirnya kami menemukan pasar Soponyono, selanjutnya hadirlah apa yang selama ini kami cari. Ternyata, alamatnya itu Rungkut asri. Tapi nama perumnya itu seperti yang di atas tadi. Padahal di daerah rungkut, bila menyebut YKP maka letaknya di sebelah utara persis UPN.

Bertemu Sang begawan 

Mas Pana sibuk mencari dimanakah gerangan tempat bel berada. Tak ketemu. Padahal ada, Cuma kami yang tak terbiasa. Akhirnya cara primitif yang kami gunakan, membenturkan gembok pada besi pintu. Bunyinya cukup nyaring. Tak lama munculkan lelaki muda. Beliau tersenyum saat aku menanyakan nama Pak Suparto Brata. Berselang beberapa menit, dari pintu samping, saya melihat bayangan sedabg membuka pintu. Lalu muncullah seorang yang sudah tua, dengan sangat ramah berkata: “Ini dari mana ya?”, lalu masuklah kami ke ruangan. Motorku juga tak luput dari instruksi sang begawan. “masukkan motornya, biar lebih enak” tanpa protes, saya langsung keluar mengikuti apa yang disarankan.

Usianya 83 tahun. Tapi Eyang Suparto Brata masih trengginas ketika menceritakan apa yang dilaluinya, serta apa yang diperjuangkannya.

“Saya ini kecewa sejak tahun 1975 mas. Sekolah sudah tak memebrikan ruang untuk membaca bagi siswanya. Lihat saja, di sekolah hanya ada dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Tentu saja yang dipelajari sebatas pengetahuan saja. Bukan keterampilannya. Lihat saja lulusannya, tak ada yang fasih berbahas Inggris.” Demikianlah kira-kira kalau ucapan beliau dalam versi jawa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tampak sekali beliau gemas dengan sekolah-sekolah saat ini, yakni tak memberikan porsi kepada membaca. Bahkan, UNAS pun tak luput dari kritikannya. “Hanya hafalan saja.” Tandasnya.

Ruang Imajinasi

Kami akhirnya bisa melihat saksi sejarah. Sebuah ruangan yang menjadi tempat meditasi Eyang Suparto. Meditasi di sini yakni menuangkan gagasan dalam tulisan. Beliau menuturkan, saat tangannya masih kuat, di situlah Suparto Brata berkutat dengan imajinasinya. Ratusan karya telah dihasilkan. Semua didokumentasikan di dua lemari. Foto kenangan, juga tersebar di dinding. Yang istimewa saat belia mendapat anugerah Award dari Thailand. Tampak beliau mengenakan pakaian surabaya asli.

“Mas, yang lain pakai baju modern, saya menyewa baju surabaya. Hasilnya, banyak yang berfoto sama saya” ungkapnya sambil tertawa.

Di CPU terpasang modem. Kalau kawan-kawan berkunjung ke www.supartobrata.com, di situ ada segala sesuatu tentang penulis. Di uasianya yang sudah senja, beliau masih aktif sebagai blogger.
“Kalau Fesbuk, saya tidak suka. Karena akan menyita waktu saya untuk bercakap-cakap” ya, sesedrahana dan masuk akal alasan sang begawan.

Ada kardus-kardus berisi buku, kata Eyang itu buku yang dikembalikan oleh penerbit. Belia tertawa. Kamipun tertawa. Kemudian, ada satu novel tebal yang masih mencari penerbit yang mau menerbitkan. Novel perjuangan tentang Surabaya. Berkali-kali ditolak penerbit. Lagi-lagi sambil tertawa. Kamipun juga tertawa. Dari ruang imajinasi itu, kami berpamitan. Menempatkan diri untuk berfoto. Nah, di sinilah keajaiban terjadi. Eyang Suparto minta izin untuk menggunajan baju ala jawa dan sorjan. Tentu saja saya menyebutnya, istimewa.....

13.3.2015/Sidoarjo di ruang kerja

Tidak ada komentar: