Penulis: Pak Shodiq (dicq.eka@gmail.com, Fb: Pak Shodiq)
Sore itu, saya dan kawan saya
hendak bertamu ke rumah begawan Sastra jawa. Suparto Brata, apakah Anda tahu
nama itu? Sebagai orang jawa, bilamana tak tahu maka bolehlah saya menyebutnya Wong
Jawa Ilang Jawane. Betapa tidak, tokoh kita ini merupakan sastrawan yang
konsisten memperjuangkan hidupnya dalam kesusastraan jawa (berbahasa jawa).
Semasa mudanya dulu, aktif mengisi majalah-majalah berbahasa jawa; sebut saja
misalnya Penyebar semangat, jaya baya, Joko Lodhang). Tak hanya melalui
majalah, novel dan cerpennya juga lebih banyak menggunakan bahasa jawa. Yang
mendapatkan penghargaan dari pemerhati sastra daerah yakni Rancage di bawah
asuhan Ajib Rosidi yakni kumpulan cerpennya TREM (Pustaka Pelajar, 2000). Banyak
juga karyanya yang langsung diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Prancis.
Kami mendapatkan alamat beliau
dari pembina redaksi Persada Sastra, Pak Shoim Anwar. Ketika kawan saya
mengutarakan akan menemui sang begawan, Pak Shoim langsung memberikan respon
positif. Lalu berbekal alamat yang diberikan pak Shoim, kami berangkat.
Sebenarnya ketika alamat yang dicari masih dalam satu kota, tentu saja tak jadi
soal. (Perum YKP RL-1-C 17 Surabaya), sepertinya akan mudah menemukan alamat
ini. Maka bertamu selepas maghrib kami anggap ideal, berangkatlah saya dan Mas
Pana (Pemimpin Redaksi). Sebelumnya (Pagi-sore), kami berputar-putar kota
pahlawan untuk promosi majalah.
Ternyata ingatan-ingatan kami tak
sepenuhnya membantu. Benar memang kami sudah di daerah rungkut, tapi sulit
sekali menemukan alamat. Ini juga ditunjang dengan tak bertanyanya kami pada
orang. Istilahnya, berdikari, menemukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Berhasilkah? Tentu tak berhasil. Sempat hampir frustasi tatkala berputar-putar
di seputar Universitas Pembangunan nasional, UPN, bertemulah kami dengan alamat
yang mirip. Berdasar penjelasan satpam, ternyata alamat yang kami tuju masih
jauh dari alamat yang hampir mirip tersebut. Menjelang isya, bergeraklah kami
menembus gelapnya jalan di jalan pandugo. Akhirnya kami menemukan pasar
Soponyono, selanjutnya hadirlah apa yang selama ini kami cari. Ternyata,
alamatnya itu Rungkut asri. Tapi nama perumnya itu seperti yang di atas tadi.
Padahal di daerah rungkut, bila menyebut YKP maka letaknya di sebelah utara
persis UPN.
Bertemu Sang begawan
Mas Pana sibuk mencari dimanakah
gerangan tempat bel berada. Tak ketemu. Padahal ada, Cuma kami yang tak
terbiasa. Akhirnya cara primitif yang kami gunakan, membenturkan gembok pada
besi pintu. Bunyinya cukup nyaring. Tak lama munculkan lelaki muda. Beliau
tersenyum saat aku menanyakan nama Pak Suparto Brata. Berselang beberapa menit,
dari pintu samping, saya melihat bayangan sedabg membuka pintu. Lalu muncullah
seorang yang sudah tua, dengan sangat ramah berkata: “Ini dari mana ya?”, lalu
masuklah kami ke ruangan. Motorku juga tak luput dari instruksi sang begawan. “masukkan
motornya, biar lebih enak” tanpa protes, saya langsung keluar mengikuti apa
yang disarankan.
Usianya 83 tahun. Tapi Eyang
Suparto Brata masih trengginas ketika menceritakan apa yang dilaluinya, serta
apa yang diperjuangkannya.
“Saya ini kecewa sejak tahun 1975
mas. Sekolah sudah tak memebrikan ruang untuk membaca bagi siswanya. Lihat
saja, di sekolah hanya ada dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Inggris. Tentu
saja yang dipelajari sebatas pengetahuan saja. Bukan keterampilannya. Lihat
saja lulusannya, tak ada yang fasih berbahas Inggris.” Demikianlah kira-kira
kalau ucapan beliau dalam versi jawa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tampak sekali beliau gemas dengan sekolah-sekolah saat ini, yakni tak memberikan
porsi kepada membaca. Bahkan, UNAS pun tak luput dari kritikannya. “Hanya
hafalan saja.” Tandasnya.
Ruang Imajinasi
Kami akhirnya bisa melihat saksi
sejarah. Sebuah ruangan yang menjadi tempat meditasi Eyang Suparto. Meditasi di
sini yakni menuangkan gagasan dalam tulisan. Beliau menuturkan, saat tangannya
masih kuat, di situlah Suparto Brata berkutat dengan imajinasinya. Ratusan
karya telah dihasilkan. Semua didokumentasikan di dua lemari. Foto kenangan,
juga tersebar di dinding. Yang istimewa saat belia mendapat anugerah Award dari
Thailand. Tampak beliau mengenakan pakaian surabaya asli.
“Mas, yang lain pakai baju
modern, saya menyewa baju surabaya. Hasilnya, banyak yang berfoto sama saya”
ungkapnya sambil tertawa.
Di CPU terpasang modem. Kalau kawan-kawan
berkunjung ke www.supartobrata.com,
di situ ada segala sesuatu tentang penulis. Di uasianya yang sudah senja,
beliau masih aktif sebagai blogger.
“Kalau Fesbuk, saya tidak suka. Karena
akan menyita waktu saya untuk bercakap-cakap” ya, sesedrahana dan masuk akal
alasan sang begawan.
Ada kardus-kardus berisi buku,
kata Eyang itu buku yang dikembalikan oleh penerbit. Belia tertawa. Kamipun tertawa.
Kemudian, ada satu novel tebal yang masih mencari penerbit yang mau
menerbitkan. Novel perjuangan tentang Surabaya. Berkali-kali ditolak penerbit. Lagi-lagi
sambil tertawa. Kamipun juga tertawa. Dari ruang imajinasi itu, kami
berpamitan. Menempatkan diri untuk berfoto. Nah, di sinilah keajaiban terjadi.
Eyang Suparto minta izin untuk menggunajan baju ala jawa dan sorjan. Tentu saja
saya menyebutnya, istimewa.....
13.3.2015/Sidoarjo di ruang kerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar