Selasa, 03 Februari 2015

Chairil Anwar: Pencetus Ekspresionisme dalam Puisi

oleh: Pana Pramulia
A. Tentang Karya
Sajak-sajak Chairil Anwar yang diduga ditulis antara tahun 1942 sampai 1949 dianggap sebagai representasi pemberontakan terhadap tatanan yang berlaku pada masa itu. Chairil memberontak terhadap pola estetika persajakan yang dihasilkan babakan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Dimana pada Angkatan Pujangga Baru konvensi dalam sajak berbentuk kuatrin dan bergaya seperti pantun dan syair melayu. Setiap lariknya terdiri dari empat kata dan jika ada pembaruan dalam karya Pujangga Baru hanya dalam segi bentuk, seperti bentuk soneta yang sering dipakai oleh M. Yamin. Akan tetapi, bentuk pantun tradisional tetap dipertahankan.

Sajak Chairil Anwar yang berjudul “Nisan” yang dimuat dalam “Kerikil Tajam” masih berbentuk Kuatrin dengan rima yang teratur namun dalam hal isi Chairil menawarkan hal yang baru dalam sajaknya tersebut. Berikut kutipan sajak dari M. Yamin dan Chairil Anwar sebagai bandingan.

GEMBALA
M. Yamin

Perasaan siapa ta ‘kan nyala (a)
Melihat anak berelagu dendang (b)
Seorang saja di tengah padang (b)
Tiada berbaju buka kepala (a)
Beginilah nasib anak gembala (a)
Berteduh di bawah kayu nan rindang (b)
Semenjak pagi meninggalkan kandang (b)
Pulang ke rumah di senja kala (a)
Jauh sedikit sesayup sampai (a)
Terdengar olehku bunyi serunai (a)
Melagukan alam nan molek permai (a)
Wahai gembala di segara hijau (c)
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau (c)
Maulah aku menurutkan dikau (c)
1903

NISAN
Chairil Anwar

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu seringgi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.
1942

Di sisi lain, yang membuat puisi Chairil menonjol adalah imajinasinya tentang manusia modern. Sajak-sajaknya dipengaruhi oleh sajak-sajak Barat. Pengaruh tersebut yang mengubah pandangannya tentang manusia Indonesia modern. Dalam sajak “Aku,” Chairil memanifestasikan imajinasi manusia Indonesia modern ke dalam subjek ‘Aku’. Sajak “Aku” ditulis pada tahun 1943, masa peralihan dari pemerintahan Hindia Belanda ke balatentara Jepang. Sajak tersebut dimuat dalam kumpulan sajak “Deru Campur Debu” dan “Kerikil Tajam dan Terampas dan Yang Putus”.

Dalam sajak “Aku”, bentuk tidak lagi menjadi bagian terpenting dalam penulisan sajak-sajaknya. Ia lebih mementingkan isi, maka puisi-puisi Chairil Anwar sering disebut sebagai puisi bebas. Dari uraian tersebut, puisi-puisi Chairil Anwar ditulis secara revolusioner, baik bentuk maupun isinya. Kata-kata dan perbandingan yang dipergunakannya sangat tepat sehingga menjelmakan isi yang padat.

Menurut Jassin (1983: 14) “Chairil bukan seorang penyair yang lancar menulis sajak. Naskah tulisannya memperlihatkan kata-kata yang dicoret-coret berkali-kali untuk mendapatkan kata yang tepat untuk mendukung isi.” Artinya, Chairil membutuhkan waktu lama untuk menulis satu puisi. Menurut Jassin (1983: 13) “Pada halaman 5 sajak: Cemara menderai sampai jauh. Semuanya ditulis dengan tulisan tangan yang bagus, tidak ada coretan-coretan seperti biasanya. Kutipan tersebut membuktikan bahwa Chairil Anwar mencapai titik kematangan dalam mencipta sajak.” Maka dari itu, selama tujuh tahun (1942 – 1949) menurut catatan HB. Jassin, Chairil hanya menulis 72 sajak asli (1 dalam bahasa Belanda), 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (1 dalam bahasa Belanda), dan 4 prosa terjemahan.

Chairil Anwar adalah seorang yang tidak luput dari kesalahan menurut ukuran manusia biasa, tetapi juga mempunyai keistimewaan sebagai penyair dan membawa puisi asing ke dalam puisi Indonesia. Akan tetapi, setelah kematiannya muncul sebuah kontroversi yang berhubungan dengan penemuan-penemuan plagiat dalam karyanya.

B. Puisi Saduran, Terjemahan, dan Dugaan Plagiat
Chairil dengan ideologinya sangat berjasa membaharui sajak Indonesia sesudah masa perjuangan sehingga menjadi berbeda dengan karya-karya ketika masa perjuangan. Hal tersebut yang kemudian membuatnya menjadi seorang pelopor perubahan. Setelah kematiannya, perdebatan mengenai plagiat dalam sajak-sajak Chairil Anwar mencuat.

Menurut Jassin (1983: 24) “bahwa orisinalitas dalam jiwa Chairil terhadap suatu karya seni sangat kuat dan sudah menjiwa dalam dirinya sehingga dalam puisi terjemahan tarikan jiwanya sangat terasa. Chairil selalu berusaha memasukkan ‘dirinya’ dalam saduran dan terjemahannya, memasukkan selera dan pilihannya sendiri yang cocok dengan kepribadiannya.” Hal ini disebabkan karena Chairil memilki pengetahuan yang luas, bacaan yang luas, pendidikannya yang baik, pemikiran serta perasaannya yang tajam.

Dugaan bahwa Chairil plagiat datang dari Slametmulyana. Menurut Slametmulyana puisi Chairil dengan judul “Penerimaan” sama dengan puisi dari Marsman yang berjudul “ Verz. Werk I”. Dimana ada kemiripan tema tentang seseorang yang sedang berkaca. Menurut Jassin (1983: 28) “persamaan tersebut terlalu dicari-cari. Sebab, setiap orang pernah berkaca. Tidak tepat apabila persamaan hanya mendasar pada kejadian. Bahkan menurut Jassin pikiran yang terkandung dalam kedua sajak tersebut berlainan sama sekali.”

Ada suatu pengolahan pengaruh asing yang dilakukan Chairil, tetapi ada sesuatu yang berbeda dengan yang aslinya. Hal tersebut lebih menjadi seperti plagiat. Seperti karyanya yang berjudul “Krawang-Bekasi” yang diduga merupakan plagiat dari karya Archibald MacLeis yang berjudul “The Young Dead Soldier”. Jassin (1983) menggolongkan puisi “Krawang-Bekasi” sebagai puisi saduran.

KRAWANG BEKASI
Chairil Anwar

kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju berdegap hati?
kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
kami mati muda. yang tinggal tulang diliputi debu.
kenang, kenanglah kami
kami sudah beri kami punya jiwa
kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti
4~5 ribu nyawa
kami cuma tulang-tulang berserakan
tapi adalah kepunyaanmu
kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
kaulah sekarang yang berkata
kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
kenang, kenanglah kami
teruskan, terskanlah jiwa kami
menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
kami sekarang mayat
berilah kami arti
berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

THE YOUNG DEAD SOLDIER
Archibald MacLeis

The young dead soldier do not speak
nevertheless they are heard in the still houses.
(who has not heard them?)
they are have a silence that speaks for them at night
And when the clock counts.
they say,
We were young. we have died. remember us.
They say,
We have done what we could
but until it is finish it is not done.
they say,
We have given our lives
but until it is finished no one can know what our lives gave.
they say,
Our deaths are not ours,
they are yours,
they will mean what you make them.
they say, wheter our lives and our deaths were for peace and a new hope
or for nothing
We cannot say. It is you who must say this.
they say,
we leave you our deaths,
Give them their meaning,
Give them an end to the war and a true peace
Give them a victory that ends the war and a peace afterwards
Give them their meaning.
we were young, they say,
we have died.
remember us.

Menurut Jassin, puisi tersebut merupakan salah satu puisi saduran dari dua saduran lainnya (seperti yang dimuat dalam kumpulan puisi ‘Aku Ini Binatang Jalang’, tahun). Sebenarnya HB. Jassin agak berat untuk melepaskannya dari penggolongan puisi saduran. Menurut Jassin (1983: 49) “isi dan jiwa puisi tersebut khas pernyataan pribadi Chairil Anwar. Persamaan dengan sajak-sajak asli yang bersangkutan terlalu nyata untuk bisa disangkal.”

Selanjutnya, Jassin (1983: 82 -83) menunjukan puisi saduran lainnya yang berjudul “Tot Den Arme” karya Willem Elsschot yang oleh Chairil Anwar diberi judul “Kepada Peminta-minta”. Berikut kutipannya.

TOT DEN ARME
Willem Elsschot

1. gij met uw’ weiflend’handen
2. en met uw’ vreemden hoed
3. uw aanblik streamt mijn bloed
4. en doet mij klappertanden
5. verhalen moej gij niet
6. van uh eentoning leven
7. het staat op u geschreven
8. war et met u geschiedt
9. de letterteekens spleen
10. om uwen armen mond
11. die kommervolle wond
12. waarlangs uh vingers streelen
13. het klinkt uit uwen tred
14. het snikt uwe kluchten
15. het sujpelt uit de luchten
16. waar gij u nederzet
17. het kom mijn droommen storen
18. en smakt mij op den ground
19. ik prof het in mijn mond
20. het grinnikt in mijn ooren
21. ik zal ter kerek gaan
22. en biecthen mijne zonden
23. en leven met de honden
24. maar staar mij niet zoo aan

KEPADA PEMINTA-MINTA
Chairil Anwar

21. baik, baik aku akan menghadap dia
22. menyerahkan diri dan segala dosa
24. tapi jangan tentang lagi aku
3. nanti darahku jadi beku
5. jangan lagi kau bercerita
7. sudah tercacar semua di muka
nanah meleleh dari muka
sambil berjalan kau usap juga
13. bersuara tiap kau melangkah
mengerang tiap kau memandang
15. menetes dari suasana kau datang
sembarang kau merebah
17. mengganggu dalam mimpiku
18. menghempas aku di bumi keras
19. di bibirku terasa pedas
20. mengaum di telingaku
21. baik, baik aku akan menghadap dia
22. menyerahkan diri dan segala dosa
24. tapi jangan tentang aku lagi
3. nanti darahku jadi beku

Dalam satu kesempatan Ajib Rosidi menyatakan bahwa sajak Chairil “Cintaku jauh di pulau” dan sajak Lorca “Cordoba” mempunyai persamaan. Menurut Jassin (1983: 30) membaca sajak Lorca “Cordoba” tidak lantas membuatnya teringat pada sajak “Cintaku jauh di pulau” karya Chairil Anwar. Menurut Jassin pengerjaan kedua puisi tersebut lain sekali. Pemakaian kata, pebandingan, lukisan seluruhnya berlainan.

Kemudian yang diduga kuat merupakan plagiat adalah puisi “Datang Dara Hilang Dara” terjemahan sajak ‘A Song of the Sea’ karangan Hsu Chih Mo dan “Fragmen”(tiada lagi yang akan diperikan) satu fragmen dari ‘Preludes to Attitude’ yaitu bagian IX yang berjudul ‘Nothing to Say You Say’ karangan Conrad Aiken.

Beberapa puisi tersebut di antara enam sajak saduran dan terjemahan yang memakai nama Chairil dengan tidak disebutkan bahwa puisi tersebut merupakan saduran dan terjemahan. Hal tersebut yang menjadikan nama Chairil sebagai plagiator. Menurut Jassin (1983: 41) “Chairil tidak menyebutkan namanya diduga mempunyai alasan yaitu penyakitnya yang banyak makan ongkos untuk pembayaran dokter, sehingga Chairil tidak mencantumkan penulis asli dalam puisi tersebut. Hal tersebut disebabkan, pada masa itu majalah-majalah kebanjiran sajak-sajak asli dan sajak terjemahan jarang diterima. Chairil begitu membutuhkan uang dan segera untuk pengobatan penyakitnya.

C. Karya yang Memengaruhi
Siapapun tidak bisa lepas dari pengaruh. Begitu pula dengan seorang sastrawan atau penyair seperti Chairil Anwar. Memang tak dapat dipungkiri, bahwa Chairil Anwar mendapat pengaruh dari beberapa penyair Belanda masa Perang Dunia II, seperti Marsman, Slauerhoff, E.Du Perron, Ter Braak, Jan H.Eekhout, dan lain-lain. Pengaruh Marsman pertama-tama terlihat pada sikap hidup Chairil, yaitu sikap hidup yang penuh vitalitas. Vitalitasme Marsman banyak memberikan dorongan dalam kehidupan Chairil. Di samping itu, sajak-sajak Marsman memberikan pengaruh pada sajak-sajak Chairil.

Tentang pengaruh-pengaruh pada diri Chairil Anwar ini, Jassin (1983: 24) menyatakan bahwa “pengaruh-pengaruh itu sudah demikian meresapnya pada jiwanya sehingga terjalin secara organis dalam hasil seninya.” Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam pengaruh itu tampak pula keaslian diri pribadinya. Lebih lanjut, Jassin memberikan analisis proses pengaruh itu pada Chairil Anwar. Mula-mula ada sesuatu yang hidup pada jiwa Chairil yang menghendaki pengucapan. Dalam usaha mencari bentuk pengucapan itu, ia bertemu dengan Marsman dan Slauerhoff, dan kemudian ia menggunakan alat yang dipakai oleh kedua penyair Belanda itu dalam pengucapannya.

Pengaruh yang ada padanya itu dapat berupa pengambilan motif yang sama, penggunaan kata dan perbandingan yang serupa, dapat juga berupa persamaan semangat.
Oleh Jassin diberikan beberapa contoh pengaruh dalam penggunaan hal motif yang sama, tetapi dalam wujud pernyataan pikiran yang berbeda, antara lain sebagai berikut.
weining lief de en wijn, vee water
soms en racket, een zweep maar
stelling nimmer een zwaard
(Marsman)
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu !
(Chairil anwar) dalam Jassin (1983: 25 – 26).
Menurut Jassin (1983: 25) dua puisi tersebut mempunyai kesamaan dengan memuat kata ‘pedang’. Adakalanya Chairil mempergunakan alat-alat yang didapatnya dari Marsman dan Slauerhoff, tidak untuk menyatakan pikiran yang sama, tetapi bertentangan dengan sumber pengambilannya.
Adapun sajak Chairil yang mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman, baik pengaruh dalam arti penggunaan motif yang sama maupun pengaruh dalam arti saduran yaitu .“Orang Berdua” (dengan Mirap), saduran puisi sajak Marsman yang berjudul ‘De Gesheidenen’ dan “Kepada Kawan” mendapat pengaruh dari sajak-sajak Marsman yang berjudul ‘de Hand van Diechter, Doodsstrijd; Don Juan; Ont Moeting in Memoriam Mijzelf’.

Selain Marsman, Slauerhoff adalah penyair Belanda yang banyak mempengaruhi Chairil Anwar. Jassin (1983: 48) menyatakan bahwa title sajak “Rumahku” memang dapat digolongkan pada sajak asli Chairil, namun demikian dengan tambahan ada ‘pengaruh’ Slauerhoff seperti dibuktikan oleh 6 dari 12 baris sajak “Rumahku” yang sama dengan “Woninglooze”. Hanya saja Slauerhoff menggambarkan fatalitasnya sedangkan Chairil menonjolkan keyakinannya yang kuat. Berikut kedua puisi tersebut.

WONINGLOOZE
Slauerhoff

1. Alleen in mijn gedichten kan ik wonen
2. Nooit vond ik ergens anders onderdak
3. Voor de eigenhaard gevoelde ik nooit een zwak
4. Een tent werd door de stormwind meegenomen
5. Alleen in mijn gedichten kan ik wonen
6. Zolang ik weet dat ik in wildernis
7. In steppen stad en woud dat onderkomen
8. Kan vinden, deert mij geen bekommernis
9. Het zal lang duren, maar de tijd zal komen
10. Dat vóór de nacht mij de oude kracht ontbreekt
11. En tevergeefs om zachte woorden smeekt
12. Waarmee 'k weleer kon bouwen, en de aarde
13. Mij bergen moet en ik mij neerbuig naar de
14. Plek waar mijn graf in 't donker openbreekt.

RUMAHKU
Chairil Anwar

Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak (1 dan 5)
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan (3)
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana (4)
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak (1 dan 5)
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu (9)

Chairil Anwar sebagai pencetus ekspresionisme dalam sastra Indonesia berusaha mengutamakan keaslian pengucapan jiwa dalam puisi-puisinya itu. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa ada beberapa puisi Chairil yang berupa terjemahan, saduran bahkan diduga plagiat. Akan tetapi dari terjemahan dan sadurannya tampak bahwa pribadi Chairil terasa berperan di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. 2010. Aku Ini Binatang Jalang. Cetakan keduapuluh dua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Anwar, Chairil. 2008. Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus. Cetakan Ketujuhbelas. Jakarta: Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1983. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Cetakan Keenam. Jakarta: Gunung Agung.

Tidak ada komentar: